Bagiku secangkir kopi, adalah secangkir kehidupan. Menyesap aroma
yang menguar dari cangkir, maka menyesap aroma kerja keras, cinta, dan
pengabdian. Perjalanan dari sebutir biji, yang tumbuh di atas lahan,
menghasilkan tandan tangkai berbonggol-bonggol, dipetik dengan kesabaran, satu
demi satu, dijemur, dipilih, disangrai, dan diseduh pada akhirnya.
Aku dilahirkan dan besar di pesisir Aceh. Provinsi paling barat dan
salah satu daerah terkaya di negeri yang menjadi sabuk khatulistiwa, Indonesia.
Tanah kelahiranku adalah tanah yang bukan hanya kaya alamnya, namun juga kaya
sejarahnya.
Pada masanya dulu, kesultanan Aceh adalah negara berdaulat yang
disegani bahkan oleh Britania Raya yang armada lautnya diakui sebagai satu yang
terkuat. Aceh adalah negara di benua asia yang memiliki akademi angkatan laut
dan angkatan darat yang tangguh. Aceh adalah negara yang dihormati dan dikenal
hingga ke pelosok padang pasir afrika.
Surat dengan tinta emas murni dari Sulthan Aceh, masih diabadikan
dengan hormat dalam musium Inggris. Dan kabarnya, masih bertumpuk-tumpuk
kekayaan harta dan sejarah Aceh di musium Belanda, hasil dari penjajahan negeri
oranje itu di ujung kekuasaannya di nusantara, meskipun pada kenyataannya, Aceh
tidak sepenuh pernah takluk pada Belanda.
Konon katanya, Malahayati, Laksamana Laut wanita pertama, yang
dikenal namanya oleh dunia, punya kapal induk super carier. Ada yang
mengatakan itu super carier pertama. Konon pula kapal itu di gelari El-Diablo
oleh bangsa lain. Kapal komando tempur yang membawa kapal tempur kecil didalamnya, diluncurkan ketika kapal induk tak bisa
maju metika memasuki perairan dangkal, atau menjelajah muara sungai.
Dipersenjatai dengan meriam yang bukan hanya lebih besar dan lebih jauh
jangkauan dari armada laut lainnya, namun juga menggunakan teknologi landasan
berputar sehingga lebih efektif dalam pertempuran. Kabar juga mengatakan itu
adalah teknologi yang digunakan di benteng gerbang laut menuju ibu kota
kesultanan, kota benteng bernama Kuta Bathe yang dibangun khusus untuk mengawal
ibu kota. Teknologi yang katanya melibatkan inovasi dari para teknisi dari
kekaisaran jepang, dataran china dan instruktur persenjataan dari Turki Otoman. Bukan negara tanpa nama yang meratap-ratap di
bawah negara lain.
Lalu Soekarno, proklamator negara Indonesia datang, dengan
tangisannya ia berjanji dan meminta bantuan rakyat Aceh. Bergabunglah Aceh
dalam barisan Indonesia, pesawat kenegaraan pertama republik yang baru
terbentuk itu sebagai kado, dari emas yang disumbangkan seketika. Tapi hanya
sesaat kawan, hanya sesaat saja dari enam puluh sembilan tahun Indonesia ada,
tanah kami bisa merasakan kekayaannya dalam damai.
Sejak sang pemimpin provinsi Aceh, Daud Beureueh, pahlawan perang
yang merasa dikhianati janji Soekarno pada daerahnya, bukan karena kekuasaan,
melancarkan pemberontakan. Penetapan status daerah operasi militer yang
menghadiahkan pembunuhan, kematian, penghilangan nyawa secara terencana, yang
melibatkan banyak nama besar dalam peta perpolitikan Indonesia Raya, nama-nama
yang kini dengan manis bicara perdamaian dan kemajuan bangsa. Perang yang tak
diakui dengan Gerakan Aceh Merdeka. Hingga kini[1] jelang
pemilu, perang yang sempat terhenti mulai lagi
muncul secara perlahan. Tapi kini sebab perebutan kekuasaan politik di daerah. Pembunuhan, penyerangan, pembakaran
dan penembakan, melibatkan nama partai lokal maupun nasional.
Namun seolah tak perduli dengan semua itu, menyembunyikan trauma
yang masih membekas. Kedai kopi tetap penuh, dan di Aceh ada ribuan kedai kopi.
Tak jarang panjang berbaris disatu tempat, atau bahkan jauh lam klek klok[2]
di tepi hutan kaki gunung, tetap saja penuh. Padahal suara knalpot meleduk saja
sudah membuat semua orang tersentak melompat, nyaris tiarap secara otomatis
akibat kebiasaan bertahun-tahun dalam kontak senjata.
Kopi adalah bagian dari darah orang Aceh.
Kopi adalah secangkir kehidupan.
No comments:
Post a Comment