Saturday 8 March 2014

Takengon




Awalnya, tulisan ini adalah tulisan pembuka pada 
blog khusus mengenai Dataran Tinggi Gayo.
Namun karena beberapa kendala teknis, 
blog tersebut tidak bisa kami akses lagi.
Tulisan ini diposting di blog Koffie Blossom ini 
dengan beberapa tambahan.
(SFA)

Takengon. Kota yang terletak di tepi danau Lut Tawar ini adalah ibu kota Kabupaten Aceh Tengah. Kurang lebih sekitar 320 Km dari Kota Banda Aceh, ibu kota provinsi Aceh. Dibutuhkan sekitar 8-10 jam perjalanan untuk menuju Takengon.

Meskipun secara umum, masyarakat Aceh menyebut nama kota ini dengan Takengon, kenyataannya penduduk asli dataran tinggi Gayo menyebut kota ini dengan nama aslinya,Takengen. Pakai ‘e’ bukan ‘o’. Dengan dua cara pengucapan ‘e’. Yang pertama diucapkan seperti dalam kata bebek, dan ‘e’ yang kedua seperti dalam kata elang.

Kami banyak bertanya mengenai sejarah nama Takengen.

Yang paling umum kami temukan adalah, nama itu berasal dari kalimat ‘Sentan Ku Engon’, yang kurang lebih berarti ‘saat kupandang’. Kata itu diucapkan oleh orang yang pertama kali melihat danau Lut Tawar, orang itu juga menurut legenda adalah pendiri kota Takengon. Ada beberapa versi, soal sang pendiri. Ada yang mengatakan beliau adalah seorang ulama. Ada yang mengatakan bahwa yang mengucapkan kata itu bernama Genali. Namun secara umum, rata-rata menceritakan bahwa asal nama Takengon itu dari ucapan tadi.

Sayangnya itu jadi terasa membingungkan, karena orang Gayo sendiri,menyebut nama kota mereka itu dengan Takengen. Bukan Takengon.

Hal lain yang sempat terpikir adalah, apakah mungkin nama Takengen itu berasal dari bahasa Gayo lama, bahasa asli, yang sudah terlupakan maknanya. Karena kami juga sering menemukan hal yang sama dalam bahasa Aceh. Kata-kata yang mulai tidak dikenali lagi oleh generasi sekarang.

Bersamaan dengan semakin meningkatnya tren menenai kopi di dunia, nama Takengon pun kembali bergema. Memang dataran tinggi Gayo tak boleh disepelekan bila menyangkut produksi kopi Indonesia. Bayangkan, dari sekitar 1 juta karung produksi kopi Arabica di Indonesia, 800 ribu karung lebih adalah produksi dataran tinggi gayo.

Bukan hanya itu. Beberapa hari kemarin ketika mencari data soal kopi, saya menemukan kejutan indah. Selain Arabica (yang paling dominan) dan Robusta, kopi tangguh yang dikenal dengan nama lokal 'Geste', seorang teman yang sering saya sebut sebagai seniman kopi karena kecintaannya pada kopi, menunjukkan biji kopi dengan tampilan yang tidak umum ditemukan. Selain lebih kecil dari Robusta, bentuknya cenderung ramping. Dan penjelasannya mengejutkan.

Mocha Yaman, salah satu jenis Arabica, yang legendaris. Berasal dari wilayah yang menjadi nama dari biji kopi itu, Mocha, satu daerah di Yaman. Biji kopi yang aslinya adalah bahan baku untuk minuman bernama Mocha, namun bukan Mocha seperti yang kita kenal saat ini. Dan beberapa batangnya sedang dibudidayakan kembali oleh teman ini.

No comments:

Post a Comment