Source: Getty Images | #183048044 |
Mengapa kopi. Bukan Teh, Coklat, atau banyak rupa nama minuman lainnya.
Bukankah untuk menghasilkan secangkir teh harum nikmat yang berkualitas pun
dibutuhkan kerja keras. Bukankah hal yang sama juga melekat pada berbagai
minuman dan makanan lainnya.
Sederhana saja, kawan. Karena aku suka kopi. Bukan
teh atau coklat. Semuanya sama memang, tak beda. Untuk satu yang baik dan
memiliki nilai kualitas, selalu lekat dengan kerja keras. Bukan hanya minuman
makanan, bukan sebatas itu. Untuk hal apa saja, bila nilai baik dan kualitas
adalah yang kita idam-idamkan, tak lain dan tak bukan, maka kerja keras adalah
urusan nomor satu.
Kerja keras bukan hanya diterjemahkan dengan hal
berpeluh-peluh dan menguras tenaga hingga titik terkuat tubuh kita mampu
menanggung beban, kawan.
Keteguhan hati untuk melakukan satu hal sederhana
pun adalah kerja keras. Izinkan ku contohkan dari satu peristiwa sederhana.
Dikebun kopi dipedalaman pucuk gunung di dataran gayo. Tebes Lues nama
daerahnya. Penuh kebun kopi dari ujung ke ujung. Sungguh bila kopi adalah
manusia, maka warga dengan populasi terbanyak adalah kopi.
Di satu kebun aku melihat nenek tua itu. Berjalan
dengan tenang, menyusuri sela-sela diantara batang kopi, disamping rumahnya
yang sederhana, papan yang jelas berusia lanjut, seperti pemiliknya.
Cerita seorang cucunya yang berusia sepantaran
denganku, ketika menjamu dan menyajikan secangkir kopi, yang membuatku
menyusuri pedalaman gunung ini. Karena kopi itu salah satu yang paling enak
yang pernah kurasakan. Kopi dari kebun di pegunungan ini.
Langkahnya yang tenang dan lambat, mengiringi
senandung lembut buaian menemani lelap seorang bayi dalam gendongan. Cucunya
juga, anak dari salah satu anaknya, yang juga sedang mengurusi kebun, tapi jauh
diatas sana.
Setiap melintas disamping segerumbul tanaman kopi
yang sedang sarat dengan buah, yang dahannya merunduk dipenuhi bonggol kopi,
perlahan ia memilih dan memilah buah kopi. Hanya yang merah saja. Dan tidak
sekedar merah. Berpuluh tahun ia menjadi petani kopi, dulu bersama suaminya
yang kini telah meninggal dunia, sekarang mengawal anak-anaknya yang pun telah
memiliki anak. Pengalaman bertahun-tahun itu membuat matanya paham hanya dengan
melihat. Merah bagaimana untuk menunjukkan sebuah kopi itu telah matang
sempurna.
Setidaknya begitulah yang kusangka. Hingga
cucunya, yang menemaniku hari itu mengatakan bahwa mata nenek sudah sangat
kabur. Pandangan sejak beberapa tahun silam sudah berkabut, seperti kabut pagi
d pegunungan.
Aku terpana. Lalu bagaimana ia bisa mengenali buah
demi buah yang matang itu. Entahlah, jawabnya.
Yang bisa kupikirkan hanya satu. Seperti kau
mengenali begitu dekat kekasihmu, pasangan hidup yang bersamamu mengarungi
hidup dalam ikatan janji suci sejati yang dipersaksikan malaikat dan Tuhan
ketika diikrarkan. Kau mengenali sedikit perubahan kerut disudut mataya berarti
apa, kau bisa memahami dari sedikit lirikannya, kau mengerti dia karena
perjalanan waktu mengajarkan bahasa tanpa suara dan kata yang terucap, untuk
saling memahami.
Kurasa begitu juga antara nenek dan batang-batang
kopinya. Mereka saling memahami. Aroma yang mengapung di udara, tekstur dan
sentuhan, dan begitu banyak lagi bahasa tanpa suara antara mereka.
Satu, satu, lalu satu lagi, kemudian satu lagi,
terus berlanjut dengan kelembutan dan kesantunan. Dipetiknya buah kopi serupa
belaian sayang. Setiap buah itu dengan hormat dimasukkan kedalam keranjang
sandang dari daun yang dianyam.
Kawan. Melihatnya memetik kopi, membuatku merasa
menyaksikan percakapan tanpa suara. Penuh kasih sayang dan penghormatan. Kau
bolah katakan aku terlalu sentimentil, tapi bila kau saksikan sendiri, ku yakin
sensasi rasa hati yang sama yang kau rasakan. Keduanya saling menyayangi.
Berdiri di tepi jalan, berseberangan dengan kebun
di samping rumahnya. Aku hanya bisa terdiam, terpesona melihat bagaimana nenek
tua itu memetik kopi.
Temanku, cucunya, yang sama berjongkok di tepi
jalan di sampingku berkata-kata dengan nada penuh hormat dan rasa sayang yang
dalam, ah aku juga merasakan ada aroma bangga dalam ucapannya,
“Bang, sejak kecil kami, Anan[1] selalu mengatakan. Kopi itu bukan benda mati. Dalam setiap pohon yang hidup itu ada jiwa dan rasa. Perlakukan ia dengan baik, maka kau akan mendapat ia membalasmu dengan cinta. Yang bisa bisa kau rasakan dalam nikmatnya rasa kopi dari batang itu. Bisa saja buah dan batang dari jenis yang sama ada dikebun lain, tapi rasanya berbeda ketika mereka, kopi itu, menyayangimu. Buah yang ditumbuhkan dengan cinta.”
“Bang, sejak kecil kami, Anan[1] selalu mengatakan. Kopi itu bukan benda mati. Dalam setiap pohon yang hidup itu ada jiwa dan rasa. Perlakukan ia dengan baik, maka kau akan mendapat ia membalasmu dengan cinta. Yang bisa bisa kau rasakan dalam nikmatnya rasa kopi dari batang itu. Bisa saja buah dan batang dari jenis yang sama ada dikebun lain, tapi rasanya berbeda ketika mereka, kopi itu, menyayangimu. Buah yang ditumbuhkan dengan cinta.”
Aku hanya diam, namun benakku kembali melihat
kehidupan. Bukankah ini hal yang serupa dengan perjalanan kehidupan. Ketika
kita menyayangi dan menghargai kerabat, teman, rekan kerja, bahkan menghormati
mereka yang memusuhi kita. Semua akan berbalas dengan penghargaan. Kehidupan
yang tenang, seperti dalam kisah salafus shalih, kisah para sahabat dari Muhammad
Rasulullah, kisah yang menggugah dari berbagai gugus belahan dunia, semua
terbingkai dengan cinta yang sama.
Lagi, dan untuk kesekian kalinya, aku menemukan
pelajaran hidup dari kopi.
No comments:
Post a Comment