Saturday 8 March 2014

Privilege Secangkir Kopi


Dibesarkan di wilayah pesisir, dan sekarang menetap disalah satu tempat dimana aroma kopi adalah aroma sehari-hari. Dataran tinggi Gayo. Salah satu surga kopi di dunia. Tempat dimana aku bisa mencicipi kopi dengan rasa dan kualitas berbintang-bintang, namun dengan harga yang sangat murah. Dipetik dari kebun dan pohon terbaik, diracik oleh tangan para peracik kopi alami, namun tak kalah dengan barista international.

Tapi bukan berarti tempat ini terpencil yang tak kenal peradaban kopi dunia. Jangan salah kawan, roaster kelas international bertabur di dataran tinggi gayo ini.

Memang aku suku Aceh, berbeda dengan para penghuni dataran tinggi ini, suku Gayo. Tapi ketika kau bicara kopi, mengertilah satu kode etik alam yang berlaku diseluruh galaksi.

Kopi itu lintas suku, lintas bangsa, lintas budaya, lintas negara. Tak ada soal ras atau etnis. Tak perduli soal warna kulit, hitam, putih, kuning, coklat, atau pucat karena merkuri. Tak ambil pusing kau berambut pirang, hitam, merah, abu-abu atau tak punya rambut. Tak perduli matamu coklat, biru, hitam, hijau, abu-abu, ataupun warna lainnya yang ada di dunia.

Menikmati kopi adalah perkara kepuasan rasa. Menjadi seni tersendiri. Karena kopi itu sejatinya memang pahit. Dan memahami pahitnya itu bisa dengan beragam jalan.

Pecinta kopi yang membabi buta dalam fanatisme buta pahitnya kopi akan menganggap bahwa siapapun yang menambahkan secuil gula ke dalam secangkir kopi adalah kejahatan. Setara dengan penghinaan.

Tapi bagiku kawan, kopi adalah salah satu minuman yang paling ekspresif. Bagiku siapa saja orang di dunia ini, bebas menikmati kopi dengan caranyanya sendiri. Ia bisa saja menikmati kopi dengan kombinasi racikan susu atau gula, atau kombinasi keduanya, atau dengan tambahan bahan lain semisal coklat, atau bahkan bila ia ingin menikamtinya dengan tambahan telur, yang kuningnya dipilih khusus, lalu dikocok dengan tambahan gula hingga menjadi busa kekuningan yang matang lalu baru disiramkan kopi mendidih kedalam gelas. 
Itu adalah salah satu cara pribadi yang tak boleh diganggu gugat oleh siapapun. 

Dulu kopi hanya disangrai, lalu dijerang dalam air mendidih yang bergolak panas. Dinikmati dalam kesederhanaan alam para pengembara di padang pasir afrika dan jazirah arab. Hanya begitu. Tak ada standarisasi industri kopi yang mewajibakan harus begini dan begitu.

Di kabilah pengembara yang ini, mungkin takaran idealnya adalah sangat pahit, agar tak manja dan tangguh pada gempuran badai padang pasir. Di kabilah lainnya, bisa jadi, tak terlalu pahit, karena suplay yang tersedia tak banyak, jadi berhematlah, yang penting ada rasa kopinya.

Sederhana, tak pakai takaran persen ini itu.

Menikmati secangkir kopi, seperti menikmati kehidupan ini. Pahitnya yang melayang dipangkal lidah, aromanya, kesabaran menunggu sejenak dan menyesapnya perlahan sebelum menjadi dingin.

Kopi itu adalah semangat kebebasan, maka menikmatinya pun mesti bebas, tak perlu repot dengan segala aturan yang kadang malah mencekik hati, membebani dengan pemikiran yang malah membuat tak mampu menikmati enaknya kopi.

Sungguh menyakitkan ketika melihat ada yang dengan sadar mencela mereka yang sedang bahagia menikmati secangkir kopi, yang menghirup aroma dengan hati lega, menyeruput sedikit demi sedikit dengan puas. Karena itu rasa kopi yang disukainya. Lalu datanglah sang ahli yang sudah membaca ribuan buku, belajar sampai ke Itali, dan menghantam remuk semua kebahagian itu hanya dengan alasan, tidak sesuai standar yang ditetapkan oleh asosiasi kopi international.

Untuk kebutuhan industri, tak masalah kawan bila dilekatkan segala aturan ini itu. Perbandingan rasio gula, susu, krim dan kopi. Atau tak pakai gula dan tambahan lain hanya kopi dan air panas.

Tapi bila menyangkut secangkir kopi rumahan yang apa adanya biarlah lepas dari tata krama industri. Secangkir kopi rumahan adalah kebebasan pribadi. Citarasa personal yang lepas dari standarisasi ini itu. Bila pun ada standarisasi, maka itu biarlah standar romantika antara kopi dan peminumnya. Itu area pribadi.

Kalaupun lalu hendak mengatahui tentang kopi, ingatlah satu hal sederhana, itu hanya untuk menambah wawasan saja. 

Kopimu dan kopiku, bisa sama bisa beda. Tapi dengan cara masing-masing, kita menikmati kopi. Percayalah bila kopi bisa berkata, ia akan menghargainya. Karena disetiap saat pribadi kita menyiapkan kopi, untuk diri sendiri atau dia yang tersayang, secangkir kopi yang dibuat dengan kesungguhan hati adalah satu privilege. Hak istimewa, yang tak bisa dimiliki orang lain.

2 comments:

  1. Okay bang, karena kopi asset yang paling berharga dari tanah ini, jadi tolong dipastikan pabrik kopi yang dulu pernah ada, bisa berdiri megah dan beroperasi tiada henti untuk kemudian mengekspor hasilnya ke Luar Negeri, agar mereka tahu...bahwa disini juga ada kopi yang tak kalah sedapnya dengan kopi internasional. Dan agar mereka sadar bahwa anak bangsa ini juga mampu mengolah sumber daya mereka sendiri!

    ReplyDelete